JAKARTA - Direktur Eksekutif SAFEnet, Damar Juniarto mengungkapkan bahwa perlindungan hak digital menjadi salah satu tantangan di masa depan untuk Indonesia. Menurutnya, adanya Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) memperburuk kriminalisasi, kejahatan siber semakin meningkat setiap tahun.
"Meskipun UU ITE itu telah direvisi pada tahun 2016, tetapi jumlah orang sedang diselidiki oleh Direktorat Tindak Pidana Siber Kepolisian Nasional meningkat tahun demi tahun. Sejak 2017-2019 total 6.895 orang sudah diselidiki oleh polisi, dengan rincian 38 persen atau 2.623 akun terkait dengan penghinaan terhadap tokoh, penguasa, lembaga publik, 20 persen atau 1.397 akun terkait dengan penyebaran hoax, serta 12 persen atau 840 akun terkait dengan pidato kebencian, sisanya atas tindakan lain," ungkap Damar, Sabtu (21/12/2019).
Damar menambahkan Indonesia berencana untuk mengeluarkan regulasi pertama tentang keamanan siber yang dinamakan RUU Keamanan dan Ketahanan Siber (RUU KKS). Setelah RUU KKS disahkan, Indonesia akan menjadi negara Asia Tenggara terbaru dengan undang-undang keamanan siber setelah Singapura, Thailand dan Malaysia.
Baca Juga: Tampilan Baru Samsung Galaxy Fold 2 Mirip Desain Motorola Razr?
"Dapat dimengerti bahwa Indonesia membutuhkan undang-undang keamanan siber ini untuk melindungi lebih dari 150 juta pengguna internet seperti yang diproyeksikan pada tahun 2023, sekarang lebih dari 171 juta pengguna. Pengguna ini rentan terhadap setidaknya 232,45 juta serangan siber," imbuh dia.
Menurut Damar undang-undang keamanan siber sangat diperlukan, pasalnya Indonesia berurusan dengan tingkat ancaman siber yang semakin tinggi. Pada 2018 dan 205 juta serangan siber pada 2017. Pada Mei 2019 saja, tercatat ada 1,9 juta serangan siber. Diperkirakan serangan-serangan ini dapat menyebabkan kerugian Rp478,8 triliun (USD33,7 miliar).
Sayangnya, lanjut Damar ia menemukan fakta bahwa di dalam RUU KKS yang didistribusikan dua bulan lalu, menjadi ancaman serius bagi kebebasan berbicara warga negara dan akan menciptakan lembaga superbody yang akan berada di atas lembaga penegakan hukum.
"Hukum akan mempersenjatai negara dalam perang melawan ancaman siber. Regulasi ini akan menunjuk Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) sebagai badan pelaksana untuk berkoordinasi dengan angkatan bersenjata, polisi, kantor jaksa agung, badan intelijen dan kementerian serta lembaga pemerintah lainnya. Jelas tidak ada keterlibatan multi-pemangku kepentingan dalam proses penyusunan RUU keamanan siber ini, tidak ada diskusi dengan lembaga pemerintah lainnya, tidak ada dialog dengan sektor swasta terkait dengan keamanan siber atau e-commerce, bahkan tidak meminta masukan dari masyarakat sipil," kata Damar.
Melihat kekhawatiran ini, Damar melanjutkan bahwa pihak SAFEnet meminta legislatif Indonesia untuk membatalkan pengesahan rencana undang-undang keamanan siber yang otoriter itu, dan legislatif akhirnya menarik RUU KKS tersebut pada September lalu.
"Tapi itu masih jauh dari selesai. Saya percaya keamanan siber adalah masalah kepercayaan. Untuk mencapai kepercayaan, kuncinya adalah melakukan dialog di tingkat nasional dan juga di tingkat regional untuk mencapai hasil terbaik. Perusahaan sektor swasta harus bergabung dalam pembahasan ini. Teknologi siber juga harus berpartisipasi. Jadi, perlu banyak tangan untuk menangani masalah rumit seperti keamanan siber," ungkap Damar.
Baca Juga: Google Akuisisi Typhoon Studios, Perkuat Layanan Stadia
(ahl)
"masa" - Google Berita
December 21, 2019 at 02:36PM
https://ift.tt/3930fmv
SAFEnet: Perlindungan Hak Digital Jadi Tantangan Indonesia di Masa Depan - Okezone
"masa" - Google Berita
https://ift.tt/2lkx22B
Bagikan Berita Ini
0 Response to "SAFEnet: Perlindungan Hak Digital Jadi Tantangan Indonesia di Masa Depan - Okezone"
Post a Comment