Sebanyak 33 nelayan asal Aceh Timur yang ditangkap Angkatan Laut Kerajaan Thailand atau Royal Thai Navy (RTN) pada 21 Januari 2020, semuanya dalam keadaan sehat. Tapi mereka belum bisa dipulangkan karena harus menjalani masa sidik (penyelidikan) yang lamanya 48 hari.
Kabar tersebut disampaikan Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia (WNI) dan Badan Hukum Indonesia (BHI) Kementerian Luar Negeri RI, Judha Nugraha, dalam suratnya yang ditujukan kepada Pelaksana Tugas (Plt) Gubernur Aceh, Ir Nova Iriansyah MT. “Kasus ini masih berada dalam proses sidik di polisi Phang Nga, Thailand, dan belum dilimpahkan ke jaksa. Masa sidik akan memakan waktu 48 hari dan dapat diperpanjang. Kemlu dan KRI Songkhla akan terus memantau proses sidik pertama selama 48 hari dan pelimpahan kasus dari polisi ke jaksa,” kata Judha Nugraha.
Selain surat yang tertanggal 7 Februari 2020 itu, Kemenlu RI juga mengirimkan lampiran kronologis tertangkapnya 33 nelayan Aceh karena memasuki Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Thailand itu. Surat maupun lampiran kronologis peristiwa itu disampaikan Kepala Dinas Sosial Aceh, Drs Alhudri MM kepada Serambi di Banda Aceh, Senin (24/2) siang. “Pers perlu memberitakan hal ini supaya semuanya menjadi jelas,” kata Alhudri.
Ia juga menyebutkan bahwa Pemerintah Aceh serius mengupayakan pembebasan dan pemulangan ke-33 warga Aceh Timur yang ditahan di Thailand itu. Plt Gubernur Aceh pun sudah menyurati Kemenlu RI di Jakarta, sehingga muncul surat balasan dari Kemenlu pada 7 Februari lalu.
Dari dua dokumen tersebut (surat dan lampiran kronologi peristiwa) diperoleh informasi bahwa pada tanggal 21 Januari 2020, Royal Thai Navy (RTN) menangkap dua kapal berbendera Indonesia, yaitu KM Perkasa dan KM Mahesa yang di dalamnya terdapat 33 WNI. Dari 33 WNI asal Aceh Timur tersebut, 30 orang dewasa, tiga orang lainnya merupakan anak di bawah umur.
Setelah penangkapan dilakukan, kedua kapal tersebut ditarik ke markas RTN di Pangkalan Thap Lamu, Provinsi Phang Nga, sekitar sembilan jam perjalanan dari Kedutaan Republik Indonesia (KRI) di Songkhla.
Tuduhan yang dijatuhkan kepada 33 WNI asal Aceh itu, kata Judha Nugraha, adalah pelanggaran Undang-Undang Perikanan Thailand karena kapal dilengkapi alat pencarian ikan berupa trawl, alat navigasi, dan jumlah awak kapalnya tergolong banyak untuk ukuran kapal nelayan tradisional, sehingga ditemukan bukti kuat adanya pencurian ikan di ZEE Thailand.
Menurut Judha Nugraha, Kemlu dan KRI Songkhla akan terus memantau proses sidik pertama selama 48 hari dan pelimpahan kasus dari polisi ke jaksa. Kemlu dan KRI Songkhla juga menyiapkan pendampingan hukum jika kasus ini sudah dilimpahkan ke pengadilan.
Terkait dengan jadwal sidang, kata Judha Nugraha, otoritas Thailand akan menginformasikan kepada KRI Songkhla satu minggu sebelum sidang dilakukan.
Dalam suratnya, Judha Nugraha juga menyebutkan langkah-langkah yang telah dilakukan Kemenlu dan KRI terkait kasus nelayan Aceh Timur ini. Pertama, KRI Songkhla telah memberangkatkan Tim Konsuler ke Phang Nga guna memastikan adanya bantuan kekonsuleran terhadap 33 WNI tersebut pada Kamis, 23 Januari 2020 pagi, dua hari setelah 33 WNI tersebut ditangkap Angkatan Laut Kerajaan Thailand.
"masa" - Google Berita
February 25, 2020 at 09:47AM
https://ift.tt/2PpsX9g
Nasib 33 Nelayan Aceh di Thailand, Ditahan 48 Hari untuk Masa Sidik - Serambi Indonesia
"masa" - Google Berita
https://ift.tt/2lkx22B
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Nasib 33 Nelayan Aceh di Thailand, Ditahan 48 Hari untuk Masa Sidik - Serambi Indonesia"
Post a Comment