Search

Konversi Energi Ibukota Dari Masa ke Masa – Bebas Akses - kompas.id

Aktivitas pengisian bahan bakar gas di SPBG A.31.03.01 di kawasan Rawamangun, Jakarta Timur, Sabtu (7/1/2012). Rencana konversi bahan bakar minyak ke bahan bakar gas bagi angkutan umum harus diikuti dengan penambahan stasiun pengisian bahan bakar untuk gas (SPBG).

Wacana terkait konversi energi untuk kendaraan, khususnya transportasi umum, sudah muncul lama di Indonesia. Jakarta sebagai wilayah pionir program ini terus bergulat menghasilkan konversi energi transportasi yang dapat digunakan meluas di seluruh Indonesia.

Berbagai pandangan dan rencana tentang pelaksanaan konversi tersebut mengalir sejak hampir setengah abad lalu, dimulai dari Jakarta sebagai ibu kota. Pada pertengahan 1972, diperkirakan sumber saja gas alam hanya dari dalam bumi Jakarta sudah bisa memenuhi kebutuhan bahan bakar seluruh warga ibu kota yang tak akan habis dalam waktu 40 tahun. Menurut Halim Usman, Kepala PN Gas Jakarta saat itu, sumber gas alam itu ada di kawasan Ciputat dan Pasar Rebo, Jakarta Timur.

Namun, apa yang diungkapkan Halim Usman itu kemudian lenyap begitu saja. Lebih dari satu dasawarsa kemudian, Direktur Utama Pertamina AR Ramly menjabarkan manfaat pemakaian gas alam terkompresi (compressed natural gas/CNG). Sekitar tahun 1986, konsumsi CNG pada kendaraan bermotor diperkirakan setara separuh dari biaya konsumsi premium sehingga lebih efisien dari sisi harga.

Berbekal dasar analisis tersebut, pemerintah kemudian menargetkan beroperasinya 500 taksi berbahan bakar CNG. Pembangunan stasiun pengisian dan pembuatan tabung khusus rencananya akan dipercayakan kepada pihak swasta.

Tahun berikutnya di akhir Februari 1987, Jakarta dinyatakan menjadi  daerah rintisan pertama untuk memperkenalkan penggunaan CNG pada kendaraan bermotor. Pada saat itu, sudah ada enam lokasi stasiun pengisian bahan bakar untuk gas (SPBG) yang ditetapkan.

Keenam lokasi itu ada di Pluit, Jakarta Utara, kemudian Daan Mogot di Jakarta Barat, berikutnya direncanakan SPBG di Jalan Sumenep, Jakarta Pusat. Adapun di Jakarta Timur, SPBG direncanakan akan berlokasi di Jalan Pramuka, di selatan Jakarta berada di Jalan Sudirman, dan SPBG terakhir berada di kawasan industri Pulogadung.

Selama masa percontohan, keenam SPBG itu ditargetkan bisa melayani  500 taksi yang sudah dilengkapi perangkat konverter bahan bakar. Bahkan, setiap SPBG nantinya diupayakan bisa melayani 2.500 kendaraan bermotor setiap hari. Namun, proyek percontohan pemanfaatan CNG yang targetnya akan jalan pada April 1987 itu berujung pada penundaan.

Teknisi Autogas Indonesia menyiapkan pemasangan konverter bahan bakar gas ke mobil dinas pemerintah di lingkungan kantor Wali Kota Jakarta Pusat, Rabu (5/3/2014). Pemerintah akan menggandeng swasta untuk pembagian dan pemasangan konverter ke kendaraan sebagai upaya mempercepat program konversi energi untuk mengurangi ketergantungan pada bahan bakar minyak.

Baca juga: Diversifikasi dan Konversi

Salah satu perusahaan perintis penerapan teknologi CNG di Indonesia saat itu menyayangkan adanya penundaan tersebut. Saat itu, agaknya pemerintah mengambangkan sikap. Tidak ada ketegasan apakah pemerintah akan memilih bahan bakar gas (BBG) dari elpiji atau CNG. Dilema itu mengemuka lantaran di lapangan, sebagian masyarakat justru mempraktikkan pemakaian elpiji untuk bahan bakar kendaraan bermotor.

Penggunaan tabung elpiji saat itu tidak memiliki standar keselamatan baku mengingat warga memanfaatkan tabung elpiji yang diproduksi sendiri atau memanfaatkan tabung elpiji bekas impor buatan Belanda. Merespons dinamika yang muncul, pemerintah melalui Departemen Perhubungan kemudian merancang konsep persyaratan laik jalan bagi kendaraan bermotor BBG pada 30 Agustus 1987.

Sementara itu, ada juga kebijakan lain dari pemerintah terhadap investor yang akan membangun stasiun pengisian bahan bakar untuk umum (SPBU). Kebijakan tersebut mensyaratkan calon investor yang membangun SPBU harus juga membangun SPBG di lokasi SPBU bersangkutan.

Rencana membangun dan memperbanyak SPBG terus didengungkan. Dalam penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 1991/1992, pemerintah merencanakan menambah lagi tiga SPBG baru di luar enam SPBG yang sudah ada ditambah dengan dukungan pengadaan 10 SPBG baru oleh swasta.

Peningkatan jumlah SPBG tersebut dinilai sangat vital dalam menunjang anjuran Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk memanfaatkan BBG bagi kendaraan umum secara bertahap sampai dengan tahun 1995.

Peningkatan jumlah SPBG tersebut terkait kebijakan Pemprov DKI Jakarta yang saat itu bercita-cita mengonversi BBG untuk seluruh kendaraan umum hingga tahun 1995. Selain itu, DKI Jakarta juga ingin mengurangi pencemaran udara secara bertahap. Pada awal 1990-an, tercatat kadar debu udara sudah mencapai 551 mikrogram per meter kubik, di atas ambang batas 260 mikrogram per meter kubik.

Baca juga: Membirukan Kembali Langit Jakarta

Sesudah Orde Baru

Sampai tahun 1996, tercatat ada 13 SPBG dan ditargetkan akan bertambah menjadi 25 di tahun 1997.

Tahun-tahun berikutnya, setidaknya mulai 1996 sampai 2015, berbagai kebijakan terkait pemanfaatan BBG terlihat hanya berkisar antara kata-kata ”harus, wajib, diimbau, ancam, dan kesulitan”.

Januari 2012 bisa dibilang menjadi ”awan mendung” dalam program BBG. Pemerintah mengaku kesulitan menyediakan konverter dalam program pengalihan penggunaan BBM ke BBG. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral  Jero Wacik menyatakan, dari penyediaan konverter sebanyak 250.000 sampai 2014, setiap bulannya ternyata hanya 2.500 yang bisa tersedia.

Sudah Berlangganan? Silakan Masuk

Baca Berita Korona Terkini di Kompas.id, GRATIS

Harian Kompas berikan BEBAS AKSES untuk seluruh artikel di Kompas.id terkait virus korona.

Ketersediaan bengkel untuk kebutuhan itu pun masih terbatas. Padahal, pemerintah sudah berencana mengonversi BBM ke BBG bersamaan dengan pembatasan BBM bersubsidi pada 1 April 2012.

Mengacu pada data Kementerian ESDM, pemanfaatan gas untuk transportasi di Indonesia belum optimal. Cuma 0,06 persen dari total konsumsi gas nasional atau setara dengan 4,48 miliar british thermal unit per hari (BBTUD) tahun 2015.

Gas untuk transportasi sebetulnya sudah diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 125 Tahun 2015, yang merupakan perubahan dari Perpres No 64/2012 tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Penetapan Harga Bahan Bakar Gas untuk Transportasi.

Tahun 2016, porsi gas untuk transportasi, turun menjadi 0,05 persen dari total pemanfaatan gas bumi domestik. Menurut Menteri ESDM Ignasius Jonan, gas untuk transportasi tak bisa jalan karena SPBG tak ada. ”Tidak bisa dibangun karena banyak masalah dan tantangan, seperti infrastruktur dan pasokan gasnya,” katanya (Kompas, 20 Juli 2017).

Aturan terbaru adalah Peraturan Menteri ESDM No 25/2017 tentang Percepatan Pemanfaatan Bahan Bakar Gas untuk Transportasi Jalan. Dalam peraturan ini, pengelola SPBU di daerah wajib menyediakan sarana pengisian gas alam terkompresi (CNG) paling sedikit satu dispenser.

Menjelang akhir Juli 2017, pemerintah menyatakan sedang menyusun draf peraturan presiden tentang pemanfaatan tenaga listrik untuk transportasi. Kebijakan ini bertujuan untuk menekan impor minyak dan elpiji, serta mendorong pemanfaatan energi yang lebih ramah lingkungan.

Waktu itu Menteri ESDM Ignasius Jonan menegaskan, kalau rencana itu terealisasi, impor minyak mentah dan bahan bakar, termasuk elpiji, bakal turun drastis. Pemanfaatan tenaga listrik untuk transportasi itu juga seiring dengan rencana bauran energi nasional, yaitu 22 persen dari energi terbarukan pada 2025.

Problem pasokan

Ketersediaan gas yang konsisten untuk mobilitas transportasi jelas tak lepas dari keberadaan SPBG. Pada tahun anggaran 1991-1992, Pemprov DKI Jakarta menargetkan tambahan 10 SPBG yang akan dibangun pihak swasta. Sementara Pertamina, yang sudah membangun enam, berencana akan menambah tiga lagi. Peningkatan ini terkait kebijakan BBG hingga 1995, serta keinginan untuk mengurangi pencemaran udara secara bertahap.

Rencana Pemprov DKI Jakarta menambah SPBG berhadapan dengan serentetan masalah. Masalah pertama berkaitan dengan kemampuan teknis operasional sebuah SPBG. Mengoperasikan sebuah SPBG lebih kompleks karena memerlukan listrik yang besar untuk memompa gas dan akses lahan yang terhubung dengan jaringan pipa gas alam.

Sementara itu, calon lahan yang ada masih jauh dari jaringan pipa gas alam dan kebutuhan listrik berkapasitas besar belum tersedia. Singkatnya, pembangunan SPBG kemudian tertunda.

Dalam perkembangannya, hanya ada lima SPBG yang baru bisa beroperasi. Keberadaan SPBG itu pun hanya sanggup melayani 400 kendaraan per hari, termasuk taksi. Padahal, Pemprov DKI Jakarta menambah lagi instruksinya, yaitu sampai November 1991, semua taksi yang berjumlah hingga 2.000 unit dan taksi baru wajib menggunakan BBG.

Persoalan berlanjut di Juni 2004. Pada tahun itu, Pertamina menyatakan menanggung rugi hingga Rp 44 miliar karena jumlah kendaraan yang memakai BBG menurun, sementara biaya listrik dan investasi unit pompa SPBG sangat mahal.

Problem lainnya masih ada di depan mata. Problem tersebut ada pada stabilitas pasokan gas. Sebagai contoh, di Agustus 2001 pasokan gas terhenti. Hal tersebut telah mengganggu aktivitas operasional taksi berbahan bakar gas. Dari 14 SPBU yang melayani SPBG, tinggal tiga yang masih bertahan.

Kondisi tersebut masih terjadi hingga beberapa tahun berikutnya. Padahal, sampai tahun 2003, Pemprov DKI Jakarta menetapkan target yang lebih besar, yaitu menjadikan 10.000 taksi, 5.000 mikrolet, dan 500 bus berbahan bakar gas.

Hingga tahun 2018, tersedia 20 unit layanan pengisian BBG untuk kendaraan umum yang beroperasi. Sebanyak 17 unit layanan adalah SPBG dan tiga unit adalah mobile refueling unit (MRU).

Sampai dengan dua tahun lalu, pembangunan SPBG dan pembagian alat konversi ke gas untuk kendaraan akhirnya dihentikan. Terbatasnya anggaran pemerintah adalah salah satu penyebabnya. Tahun 2017 menjadi tahun terakhir kali program konversi gas untuk sektor transportasi.

Semua program konversi gas transportasi, baik dalam hal pembagian alat konversi ke gas untuk kendaraan pribadi maupun pembangunan SPBG, berhenti di tahun 2017. Pada akhirnya, serentetan persoalan yang belum menemukan solusi menyebabkan kelanjutannya program konversi energi BBG untuk transportasi berjalan kabur. (LITBANG KOMPAS)

Let's block ads! (Why?)



"masa" - Google Berita
April 01, 2020 at 09:09AM
https://ift.tt/39x8TsO

Konversi Energi Ibukota Dari Masa ke Masa – Bebas Akses - kompas.id
"masa" - Google Berita
https://ift.tt/2lkx22B

Bagikan Berita Ini

0 Response to "Konversi Energi Ibukota Dari Masa ke Masa – Bebas Akses - kompas.id"

Post a Comment

Powered by Blogger.