Search

Jaga Jiwa Selama Masa Bahaya Korona – Bebas Akses - kompas.id

KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA

Petugas menyemprotkan cairan disinfektan ke kendaraan dari arah Sidoarjo yang baru masuk ke Kota Surabaya di Jalan Ahmad Yani, Kota Surabaya, Jawa Timur, Jumat (27/3/2020). Intensitas penyemprotan terus ditingkatkan oleh sejumlah pihak untuk menekan wabah Covid-19. Untuk memberlakukan kawasan tertib pembatasan sosial, dilakukan penutupan sejak Jumat hingga Minggu di Jalan Darmo dan Jalan Tunjungan.

Sejak virus korona merebak di banyak negara, sebagian masyarakat Indonesia sudah dilanda kekhawatiran jika makhluk tak kasatmata itu masuk ke Indonesia. Saat Presiden Joko Widodo mengumumkan dua orang positif  korona, kecemasan masyarakat kian meningkat.

Ketika sejumlah pejabat positif korona, warga yang terpapar virus dan meninggal makin banyak dan meluas, sulit mencari masker dan cairan antiseptik, hingga terjadi pembelian emosional (panic buying) di sejumlah supermarket, situasi jadi makin menakutkan.

Kepanikan warga makin bertambah saat akses terhadap tenaga dan fasilitas kesehatan jadi lebih sulit. Penerapan kerja dan belajar dari rumah, pembatasan transportasi publik, hingga meroketnya harga sejumlah kebutuhan pokok membuat warga makin bingung menghadapi korona.

Gencarnya pemberitaan media massa soal korona dan masifnya obrolan warga di media sosial tentang perkembangan situasi yang terjadi membuat kepanikan itu berlangsung terus dan lama. Situasi itu kian rentan memengaruhi kesejahteraan mental warga.

Stres, bingung, cemas, sedih dan panik adalah reaksi psikologi wajar saat berlangsung krisis. ”Ekspresi stres tiap orang beda, bergantung kepribadiannya,” kata Lahargo Kembaren, psikiater RS Marzoeki Mahdi, Bogor, dan pengurus Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia, Kamis (19/3/2020).

Sebagian orang mengungkapkan stresnya lewat kata-kata melalui ungkapan verbal. Ada pula yang melepaskan stresnya lewat tulisan, termasuk dengan berbagi (sharing) atau mengunggah informasi melalui media sosial.

Bagi orang yang memiliki karakter kinestetik, mereka meluapkan stresnya melalui gerakan, seperti mondar-mandir atau menendang. Namun, bagi orang yang memiliki karakter interpersonal tinggi, mereka cenderung diam dan memendam perasaannya saat stres melanda.

Ekspresi stres itu sebenarnya sah-sah saja. Namun, karena manusia tidak bisa lepas dari relasi sosial, ekspresi stres yang berlebihan itu bisa mengganggu dan menular kepada orang lain.

Meski demikian, stres tak selamanya bermakna negatif, yang dinamakan distres. Ada stres positif yang disebut eustres. Eustres mendorong orang yang stres untuk melakukan yang lebih baik, seperti dalam kasus pandemi Covid-19 adalah dengan mencari informasi yang benar tentang penyakit baru ini.

”Ketika kecemasan dan stres negatif terjadi berlebihan, mengganggu fungsi sehari-hari, dan menimbulkan penderitaan, itu indikasi munculnya gangguan cemas,” lanjutnya. Kecemasan yang berlebihan itu terjadi jika muncul sejumlah gejala fisik dan psikologis yang sebelumnya tidak ada pada tubuh kita.

AFP/TUWAEDANIYA MERINGING

Seorang perempuan diperiksa suhu tubuhnya dalam upaya menahan penyebaran Covid-19 di jalan Distrik Nongchik, perbatasan provinsi selatan Thailand, Pattani, pada 26 Maret 2020.

Baca juga: Mengukur Ketakutan Kita terhadap Virus Korona

Gejala kecemasan

Gejala fisik yang tampak umumnya berupa jantung berdebar, napas pendek, sulit tidur atau menjaga tidur, waktu tidur kurang atau berlebih, mual, kembung, diare, kepala pusing atau terasa berat, kulit gatal, hingga otot tegang. Namun, saat dilakukan pemeriksaan pendukung, seperti uji laboratorium, foto rontgen, hingga elektrokardiogram, tidak ditemukan kelainan apa pun di tubuh.

Tanda fisik itu biasanya juga disertai perubahan kondisi kejiwaan. Selain perasaan cemas, khawatir, dan panik  berlebih, terkadang juga muncul ketakutan pada kematian, khawatir kehilangan kontrol diri, atau takut tidak mendapat pertolongan saat sakit.

”Gangguan kecemasan (anxiety disorder) itu terjadi akibat adanya ketidakseimbangan neurotransmiter atau senyawa kimia otak,” katanya.

Beberapa orang lebih rentan mengalami gangguan kecemasan karena kapasitas mental setiap orang berbeda-beda. Sebagian orang responsif saat menghadapi krisis, sementara sebagian yang lain bersifat reaktif. Karakter itu turut menentukan.

Orang yang responsif cenderung tenang, mengambil tindakan secara terukur, serta menimbang apa yang akan dilakukan untuk memberi respons yang tepat dan wajar. Sikap itu membuat orang dengan karakter responsif tidak mudah mengalami cemas. Sementara orang dengan karakter reaktif biasanya bereaksi cepat, mudah tegang, dan agresif saat merespons krisis sehingga mereka mudah cemas dan panik.

Meski respons reaktif atau responsif itu muncul secara spontan, respons itu sangat dipengaruhi oleh faktor genetik seseorang yang membuatnya mudah cemas atau khawatir dan ada tidaknya pengalaman traumatis masa lalu. Pola asuh keluarga yang memengaruhi cara seseorang menghadapi masalah, memaknai pengalaman hidup, dan membangun relasi dengan orang lain juga memengaruhi sikap seseorang apakah menjadi responsif atau reaktif.

Selain kapasitas mental, stres negatif juga rentan dialami oleh orang-orang dengan pola pikir atau kognitif tertentu, mulai dari distorsi kognitif, overgeneralization, all or nothing, mental filtering, hingga jump to conclusion. Semua cara pikir ini berujung pada munculnya ketakutan dan kecemasan berlebih.

Mereka yang mengalami distorsi kognitif biasanya mudah berpikir negatif, berpikir irasional, dan berpikir katastropik atau berlebihan dalam memikirkan dampak negatif suatu hal. Adapun orang yang overgeneralization alias generalisasi berlebihan akan menilai satu hal yang terjadi di mana pun bakal sama. Kasus Covid-19 di Indonesia, misalnya, akan dinilai sama atau lebih buruk dibandingkan negara lain yang juga tidak mampu menangani wabah dengan baik.

Sementara cara berpikir all or nothing merujuk pada pola pikir perfeksionis yang tak menoleransi kesalahan apa pun. Mental filtering adalah meyakini informasi yang diinginkan atau mengabaikan informasi yang tak ingin diakui, misal mengabaikan usaha positif sejumlah pihak menangani Covid-19 meski memang banyak kekurangan.

Jump to conclusion adalah pola berpikir yang loncat, seperti seolah-olah sudah terjadi, padahal belum. Dalam kasus pandemi ini, orang dengan pola pikir seperti ini, saat cemas, batuk dan pilek biasa, akan dengan mudah mengambil kesimpulan bahwa mereka telah terpapar virus SARS-CoV-2.

Semua pola pikir itu jika dilakukan berulang-ulang akan mengganggu fungsi otak. Pola pikir ini akan menimbulkan stres yang berujung pada kecemasan dan depresi,

”Pikiran negatif tidak bisa menghasilkan kehidupan positif,” kata Lahargo.

Psikolog klinis yang juga dosen di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Fitri Fausiah, mengatakan, kecemasan berlebih yang terus-menerus bisa menurunkan imunitas tubuh. Padahal, di masa sekarang, imunitas tubuh itu sangat dibutuhkan untuk melawan penyakit infeksi.

KOMPAS/RADITYA HELABUMI

Pekerja memasang spanduk informasi penutupan sementara Pasar Tanah Abang Blok A, Jakarta Pusat, Jumat (27/3/2020). Perumda Pasar Jaya menutup sementara Pasar Tanah Abang Blok A, Blok B, dan Blok F yang merupakan pusat grosir pakaian dan garmen mulai 27 Maret hingga 5 April mendatang. Penutupan dilakukan untuk mengurangi kerumunan warga di ruang publik dalam upaya menekan penyebaran Covid-19. Hanya Pasar Tanah Abang Blok G yang masih buka sementara dengan jam terbatas karena berjualan bahan pangan.

Baca juga : Melawan Korona, Melawan Ketidakjelasan

Mengatasi kecemasan

Saat gangguan kecemasan muncul, banyak hal yang bisa dilakukan untuk mengatasi atau mengurangi gejalanya. Salah satu cara mendasar adalah dengan menggunakan kemampuan fisik untuk melawan cemas, yaitu dengan mengambil napas dalam dan mengembuskannya secara perlahan. Asupan oksigen yang lebih akan merangsang otak mengeluarkan zat yang menenangkan.

”Dengan bernapas dalam, sistem saraf simpatik akan diambil alih oleh saraf parasimpatik. Bekerjanya sistem saraf parasimpatik akan membuat diri lebih tenang dan logika berjalan,” kata Kepala Pusat Studi Otak dan Perilaku Sosial Universitas Sam Ratulangi, Manado, Taufiq Pasiak.

Teknik menarik napas dalam itu juga bisa dikombinasikan dengan metode mengelola stres yang disebut progressive muscle relaxation, yaitu menegangkan otot tubuh, seperti tangan atau kaki, saat menghirup napas dan merenggangkan otot-otot tersebut ketika mengempuskan napas. Metode ini bisa dilakukan berulang-ulang.

Mekanisme lain yang bisa dilakukan adalah dengan berbicara atau mengobrol dengan seseorang yang bisa membuat mereka nyaman. ”Mengomunikasikan apa yang dirasakan adalah bentuk ventilasi psikologi,” kata Lahargo.

Fitri menambahkan, meredakan ketegangan juga bisa dilakukan dengan memanfaatkan waktu luang selama masa pembatasan sosial dengan melakukan hal-hal yang bisa dilakukan. Bersantai, membaca koleksi buku yang sudah dibeli tetapi masih terbungkus plastik, mendengarkan musik nostalgia, berkebun, meditasi, beribadah, zikir, membaca kitab suci, atau hal-hal lain apa pun sehingga pikiran tidak melulu memikirkan korona.

”Meski seolah tampak membosankan, pembatasan sosial dengan bekerja, belajar, dan beribadah dari rumah tetap bisa berdampak positif, khususnya dalam membangun kembali komunikasi dan keharmonisan dalam keluarga yang sulit dilakukan selama hari-hari libur biasa,” katanya.

Orangtua dan orang dewasa memiliki peran penting untuk bisa mengelola cemas mereka selama pandemi. Jika tidak, kecemasan itu bisa menular dan berimbas kepada anak-anak mereka yang umumnya masih bingung dengan berbagai hal yang berubah dan mendadak terjadi.

Selain itu, mengatur pola hidup sehat juga bisa membantu mengurangi kecemasan. Makan makanan dengan nutrisi lengkap dan seimbang serta banyak mengonsumsi sayur dan buah yang menjadi sumber antioksidan juga bisa membantu mengatasi kecemasan.

”Pisang, keju, dan susu mengandung triptofan yang menjadi bahan pembentuk serotonin, neurotransmiter yang bisa membuat senang,” ujar Lahargo.

Selain itu, makan makanan yang mengandung pengawet, pewarna, atau penyedap rasa juga harus dihindari. Menurut dia, makanan model ini menghambat plastisitas otak. Terhambatnya plastisitas otak itu mengganggu keseimbangan neurostransmiter di otak sehingga memudahkan dan memicu munculnya kecemasan.

Tidur yang cukup juga penting. Saat tidur malam, penting untuk mematikan lampu atau membuat kamar menjadi gelap karena bisa mendorong tubuh mengeluarkan hormon melatonin. Hormon ini akan membuat kualitas tidur makin baik sehingga sel saraf bisa memulihkan diri dengan cepat.

Olahraga teratur, 30 menit sehari, juga bisa membantu mengurangi kecemasan. Olahraga membuat proses oksigenasi ke tubuh, khususnya otak, menjadi lebih lancar. Mekanisme ini akan mendorong sel saraf di otak mengeluarkan endorfin, hormon antistres.

Merokok, minum alkohol, dan mengonsumsi obat-obatan terlarang harus dihindari. Zat ini seolah-olah bisa mengatasi kecemasan secara instan, tetapi dalam jangka panjang justru bisa menimbulkan kecemasan berkepanjangan.

Kompas/Hendra A Setyawan

Di tengah pendemi Covid-19 yang melanda Tanah Air, Ade (56) tidak patah semangat menjajakan koran. Setiap pagi hingga siang, ia mengecer koran kepada pengendara yang melintas di perempatan Gaplek, Tangerang Selatan, Banten, seperti pada Jumat (27/3/2020). Pria yang telah menjadi loper koran sejak 20 tahun lalu itu gigih menyambung napas media cetak yang tengah mengalami disrupsi.

Diet digital

Bagi mereka yang mudah cemas akibat terpapar informasi tentang Covid-19, diet digital bisa dilakukan. Usahakan hanya membaca berita dari sumber atau media yang tepercaya. Tidak perlu mengecek informasi pandemi ini dari berbagai media secara terus-menerus, tetapi cukup dibatasi dua kali sehari.

Memantau lonjakan orang yang positif mengidap SARS-CoV-2, kisah sedih orang-orang yang meninggal akibat Covid-19, ataupun berbagai keluhan di media sosial tentang penanganan pemerintah dalam mengelola pandemi secara terus-menerus bisa memicu cemas hingga depresi.

”Batasi memantau informasi tentang korona secara terus-menerus, cukup tahu perkembangannya melalui sumber tepercaya saja,” ujar Fitri. Berlebihnya informasi negatif akan membentuk pikiran negatif, memperburuk suasana hati yang bisa memengaruhi kehidupan, menimbulkan stres, hingga akhirnya menurunkan daya tahan tubuh.

Lahargo juga menyarankan, ”Media perlu menyajikan informasi atau tontonan lain sehingga masyarakat tidak terlalu terpapar dengan informasi Covid-19 yang belum tentu mereka butuhkan,” ucapnya.

Jika semua itu sudah dilakukan, tetapi tidak ada perubahan berarti, katanya, segera konsultasi kepada psikiater atau profesional kesehatan jiwa lain sehingga pertolongan cepat dan tepat bisa segera dilakukan.

Baca juga : Kepanikan Dipicu Ketidakjelasan Informasi Covid-19

Let's block ads! (Why?)



"masa" - Google Berita
March 28, 2020 at 04:22AM
https://ift.tt/2WL3lrQ

Jaga Jiwa Selama Masa Bahaya Korona – Bebas Akses - kompas.id
"masa" - Google Berita
https://ift.tt/2lkx22B

Bagikan Berita Ini

0 Response to "Jaga Jiwa Selama Masa Bahaya Korona – Bebas Akses - kompas.id"

Post a Comment

Powered by Blogger.