Search

Waktu Sangat Berharga di Masa Pandemi Korona - kompas.id

ROBYN BECK/AFP

Sejumlah perawat berunjuk rasa di Los Angeles, Amerika Serikat, Rabu (11/3/2020). Mereka memprotes Pusat Pengendalian Penyakit Menular AS yang dinilai tidak bertindak memadai untuk menanggulangi wabah Covid-19 di Amerika Serikat.

Kasus Covid-19 terus bertambah dan butuh penanganan dengan cepat dan tepat. Sejumlah negara yang mengabaikan peringatan tentang Covid-19 di awal kemunculannya, kini harus bekerja keras menangani saat makin merebak. Amerika dan Inggris adalah contohnya.

Waktu menjadi sangat berharga saat pandemi korona, sebab dunia masih harus berpacu untuk mencegah meluasnya penularan Covid-19. Hampir tidak ada negara yang dapat luput dari serangan virus SARS-Cov-2.

Virus yang awalnya dilaporkan oleh China pada 31 Desember 2019 ini telah menjangkiti lebih dari 550 ribu penduduk di 176 negara. Sebanyak 21,31 ribu jiwa meninggal dan 114,86 ribu sembuh.

Awalnya, virus korona jenis baru ini diketahui menyebabkan pneumonia ke beberapa warga di Wuhan, China. Kasus itu muncul sekitar 21 sampai 29 Desember 2019.

Sejak saat itu, virus menyebar melalui orang-orang yang baru berpergian dari Wuhan. Mereka yang terinfeksi menjadi pembawa virus ke wilayah bahkan negara lain. Hal ini semakin parah sebab bertepatan dengan mobilitas warga China yang tinggi saat perayaan Tahun Baru China.

Kasus serupa sebenarnya telah dilaporkan dari Hongkong, Korea Selatan, dan Taiwan sejak akhir 2019. Rumah sakit pemerintah di Hong Kong melaporkan 38 pasien yang menunjukkan gejala demam dan infeksi pernapasan sepulang dari Wuhan.

Sejak itu, China mengerahkan kemampuannya untuk mencegah penyebarannya, termasuk melaporkannya ke Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Selain itu, ilmuwan juga membuka data genetik virus sebagai penanda untuk pengecekan orang dengan gejala yang sama dengan penyakit di Wuhan. Hal ini dilakukan mengingat kegagalan negara ini dalam menghadapi SARS pada 2002.

Kasus di negara-negara lain mulai terkonfirmasi setelah China membuka akses data genetik virus itu. Pada 13 Januari 2020, pemerintah Thailand melaporkan kasus pertama infeksi virus korona jenis baru itu. Ini menjadi kasus pertama yang terdeteksi di luar China.

Meluasnya Covid-19 menggerakan WHO untuk menetapkannya sebagai Darurat Kesehatan Global. Dalam waktu sekitar dua bulan saja, pada 8 Maret 2020 kasus meningkat dari 54 kasus di Wuhan, China hingga 100 ribu kasus di 100 negara.

WHO kemudian menetapkan Covid-19 sebagai pandemi. Ada dua alasan di balik penetapan ini. Pertama, kecepatan penularan Covid-19 sudah sangat tinggi dan skala penularannya pun sangat luas. Kedua, beberapa negara tidak menunjukkan komitmen serius di level politik untuk mencegah penyebaran virus meskipun telah diperingatkan berkali-kali oleh WHO.

AFP/JIM WATSON

Presiden AS Donald Trump menandatangani tindakan CARES, paket penyelamatan senilai 2 triliun dollar AS untuk memberikan bantuan ekonomi di tengah wabah korona di Gedung Putih (27 /3/ 2020).

Amerika Serikat

Satu dari sejumlah negara yang dianggap abai merespon peringatan WHO ini adalah Amerika Serikat. Kini Amerika Serikat harus bertanggungjawab atas 81.321 orang yang terkonfirmasi positif Covid-19 dan lebih dari seribu jiwa yang meninggal. Pada Kamis (26/3/2020), jumlah tersebut menandai AS sebagai negara dengan kasus positif Covid-19 terbanyak, melebihi China.

Situasi ini sangat disayangkan oleh banyak pihak termasuk para ahli dan tenaga kesehatan. Sebab, seharusnya jika pencegahan dilakukan lebih cepat saat WHO memperingatkan kedaruratan penyakit ini, korban tidak akan sebanyak itu.

Presiden AS Donald Trump dalam beberapa bulan sebelumnya sangat optimis untuk mencegah penyebaran pandemi ini. Namun optimisme ini tidak sejalan dengan hal-hal yang dikatakan oleh para ahli. Realita di lapangan berbeda, kebijakan yang diterapkan juga dinilai kurang berhasil.

Tidak perlu menunggu berminggu-minggu sejak peringatan dari China tentang virus ini diumumkan untuk menerapkan kebijakan preventif.

Nada optimisme Trump tampak dalam pernyataan-pernyataannya. Misalnya dalam pernyataannya, pada 22 Januari 2020, ia mengatakan bahwa secara teori, pada April suhu semakin panas sehingga seharusnya kita dapat membunuh virus itu. Namun, WHO menyampaikan peringatan bahwa tidak ada alasan untuk percaya bahwa virus akan memiliki cara hidup yang berbeda pada suhu yang berbeda.

Kemudian pada pertengahan Februari, ia berujar bahwa ada 15 orang positif Covid-19 maka semuanya itu dalam beberapa hari akan berkurang mendekati nol. Namun, nyatanya saat ini AS menempati puncak urutan kasus Covid-19.

Pernyataan yang disampaikan Trump sejalan dengan respon pemerintah yang cenderung meremehkan Covid-19. AS yang seharusnya memiliki sumber daya untuk melakukan pencegahan lebih awal dan canggih, kini kewalahan. Strategi yang seharusnya dilakukan sejak awal yaitu pengetesan masif terlambat. Padahal tes masif bermanfaat untuk mengetahui sejauh mana virus ini mengancam tiga juta penduduk AS.

The Centers for Disease Control and Prevention (CDC), salah satu agen pendeteksi penyakit terbaik di dunia gagal membuat tes diagnostik dasar Covid-19. Sebanyak 200 kit yang dapat digunakan untuk tes 700 hingga 800 spesimen telah dikirimkan ke AS pada awal Februari. Namun tidak semuanya dapat berfungsi.

Jika kit tes Covid-19 berhasil digunakan, maka laboratorium di setiap negara bagian dapat dengan maksimal memeriksa warganya. Sampel tes tidak perlu dikirim ke laboratorium pusat CDC di Atlanta. Dengan demikian seharusnya banyak masyarakat dengan cepat terdeteksi Covid-19 sehingga dapat diberikan penanganan yang tepat.

Sudah Berlangganan? Silakan Masuk

Baca Berita Korona Terkini di Kompas.id, GRATIS

Harian Kompas berikan BEBAS AKSES untuk seluruh artikel di Kompas.id terkait virus korona.

Di samping itu, ketika saat ini kasus semakin meningkat, AS kekurangan alat-alat kesehatan yang seharusnya bisa dipersiapkan sebelumnya. New York dengan lebih dari 25 ribu kasus atau lebih dari separuh kasus Covid-19 di AS hanya mendapatkan bantuan 400 ventilator dari pemerintah. Dengan kasus yang semakin bertambah maka dapat diperkirakan akan ada kekurangan sekitar hampir 30 ribu ventilator di New York saja.

Meskipun kini perusahaan alat medis telah dikerahkan untuk mempercepat dan meningkatkan produksinya, namun ini membutuhkan waktu lama. Sembari menunggu produksi selesai, ada ribuan kasus positif Covid-19 yang bertambah setiap harinya.

Medrotic, salah satu perusahaan manufaktur produksi ventilator telah meningkatkan kapasitas produksinya dari 100 alat pada kondisi normal menjadi 225 alat dalam seminggu saat ini.

Target produksi yang ditetapkan perusahaan ini mencapai 500 alat seminggu. Jumah inipun masih kurang dibanding kebutuhan saat sekarang. Dengan kondisi tersebut, Ford dan General Electric berkontribusi untuk turut memproduksi ventilator demi memenuhi kebutuhan.

AFP/JUSTIN TALLIS

Gedung Parlemen Inggris (kiri) di ujung Westminster Bridge, London yang kosong dengan satu pejalan kaki pada  24 Maret 2020 setelah pemerintah Inggris memerintahkan penguncian untuk mencegah penyebaran wabah korona Covid-19.

Inggris

Pengabaian peringatan dari WHO juga diperlihatkan Inggris. Strategi yang diupayakan pemerintah masih suam-suam kuku dan tidak jelas. Ketika kasus positif Covid-19 mencapai 590 kasus dan sebanyak 12 orang meninggal dunia, Inggris belum menerapkan pembatasan sosial seperti yang dianjurkan WHO.

Belum ada penutupan sekolah dan pembatasan jadwal penerbangan seperti yang dilakukan di negara-negara Eropa lainnya. Juru bicara Kantor Pemerintahan Perdana Menteri Inggris mengatakan bahwa tidak ada saran serta bukti secara medik dan ilmiah bahwa hal-hal tersebut harus dilakukan.

Pada 12 Maret 2020, Perdana Menteri Inggris Boris Johnson hanya menyampaikan strategi penanganan Covid-19 yang sederhana. Seseorang dengan gejala Covid-19 mulai dari ringan hingga parah diwajibkan tinggal di rumah selama tujuh hari. Perjalanan sekolah ke luar negeri harus dihentikan. Lansia di atas 70 tahun dengan kondisi medis dianjurkan tidak berlayar.

Ketika saat ini kasus semakin meningkat, AS kekurangan alat-alat kesehatan yang seharusnya bisa dipersiapkan sebelumnya.

Namun, hanya kurang dari seminggu, pemerintah Inggris mengubah strateginya karena hasil permodelan dari Imperial College’s MRC Centre for Global Infectious Disease Analysis. Menurut Prof Neil Ferguson dari Imperial College, jika pemerintah Inggris tetap menggunakan strategi tersebut maka diperkirakan akan tetap terjadi kematian 260 ribu jiwa.

Maka Neil Ferguson dan rekannya membuat rekomendasi strategi kedua yang lebih ketat. Strategi dengan membatasi pergerakan dan pertemuan masyarakat dapat menekan angka kematian menjadi hanya 20 ribu atau bahkan beberapa ribu saja.

Pemerintah Inggris mengikuti strategi kedua yaitu dengan menerapkan pembatasan kegiatan belajar mengajar sampai waktu yang ditentukan. Selain itu PM Inggris juga mengumumkan pembatasan sosial atau social distancing dengan mengurangi pertemuan tidak penting, bekerja dari rumah, dan menghindari keramaian. Namun untuk mencapai target sesuai prediksi Imperial College, pemerintah harus memberlakukan kebijakan ini hingga lima sampai enam bulan ke depan.

Berharganya waktu

Meskipun direspon baik, kebijakan tersebut dinilai terlambat. Richard Horton, editor Jurnal Medis The Lancet menyebutkan dalam opininya di “The Guardian” bahwa pemerintah Inggris gagal, bahkan menolak peringatan dari ilmuwan tentang bahaya virus korona jenis baru ini.

Ia juga mengatakan bahwa tidak perlu berminggu-minggu sejak peringatan dari China tentang virus ini diumumkan untuk menerapkan kebijakan preventif. “Kita kehilangan waktu yang berharga. Seharusnya ada kematian yang bisa dicegah” katanya. Sampai pada 27 Maret 2020, kasus positif Covd-19 di Inggris mencapai 14.751 kasus dengan 759 kematian dan 135 kasus sembuh.

Pengalaman dari kedua negara tersebut memperlihatkan bahwa waktu menjadi harta yang mahal di saat-saat ini. Ketidakseriusan pemerintah pada awal dan sepanjang upaya pencegahan Covid-19 telah membuang harta tersebut sehingga banyak nyawa tidak terselamatkan.

Di bagian dunia lain, China dan Korea Selatan telah belajar dari pengalaman masa lalu untuk tidak mengabaikan penyakit menular. Mereka segera mengerahkan semua kemampuannya untuk mencegah penularan ini.

Sejak pertama kali Covid-19 dilaporkan China, sebanyak 30 provinsi di China langsung mendata temuan kasus dan melacak penularannya. Otoritas China melakukan deteksi dini secara aktif. Masyarakat juga dilarang untuk berkerumun di ruang publik.

Sementara di Korea Selatan, pemerintah aktif memantau secara ketat kota dan mengerahkan pembersihan tempat publik besar-besaran dengan menyemprotkan disinfektan. Selain itu, pemerintah juga melakukan tes Covid-19 dengan masif kepada masyarakat yang memiliki dan tidak memiliki gejala Covid-19.

Baca juga: Kapan Vaksin Korona Akan Tersedia?

Seharinya, tes pemerintah dapat menyediakan 12.000 hingga 15.000 tes dengan kapasitas maksimal 20.000 tes. Tidak heran jika hingga saat ini lebih dari 307 ribu orang telah dites.

Keduanya kini berhasil melandaikan kembali kurva perkembangan kasus Covid-19. Kunci dari keberhasilan tersebut adalah kecepatan pencegahan dan penanganan.

Pelajaran berharga ini kiranya dapat menjadi pedoman bagi negara-negara di dunia untuk menghadapi kemungkinan pandemi di masa depan. Sesingkatnya waktu menjadi sangat berharga bagi negara-negara untuk menyelamatkan masyarakat dunia. (LITBANG KOMPAS)

Baca juga: Mengapa Harus Membayar Berita Daring?

Let's block ads! (Why?)



"masa" - Google Berita
March 31, 2020 at 07:00AM
https://ift.tt/2JqgpuH

Waktu Sangat Berharga di Masa Pandemi Korona - kompas.id
"masa" - Google Berita
https://ift.tt/2lkx22B

Bagikan Berita Ini

0 Response to "Waktu Sangat Berharga di Masa Pandemi Korona - kompas.id"

Post a Comment

Powered by Blogger.