Jakarta, Beritasatu.com - Nama Kartika Soekarno sempat ramai dibicarakan publik pada pertengahan tahun lalu. Sejumlah media massa nasional menulis tentang putra Kartika, Frederik Kiran Soekarno Seegers, yang baru saja menerima komuni pertama di Indonesia. Berita dan foto-foto Kiran sebagai cucu Soekarno pun ramai dibicarakan publik.
Perempuan bernama lengkap Kartika Sari Soekarno Putri itu adalah anak dari pasangan Ir Soekarno, presiden pertama Indonesia, dengan Ratna Sari Dewi atau yang akrab disapa Dewi Soekarno. Namun, tidak seperti ayahnya dan saudara-saudara lainnya, perempuan kelahiran 11 Maret 1967 ini tidak terjun ke panggung politik. Dia lebih banyak melakukan kegiatan sosial di Tanah Air.
Melalui yayasan yang didirikannya pada 1998, Kartika Soekarno Foundation, Kartika lebih memperhatikan masalah kesehatan dan pendidikan anak-anak usia dini, terutama yang berusia di bawah lima tahun. Pekan lalu, Rabu (4/3/2020), Beritasatu.com berkesempatan mewawancarai Kartika tentang aktivitas sosialnya itu. Berikut petikannya:
Apa latar belakang Kartika Soekarno Foundation (KSF) didirikan?
KSF didirikan pada 1998. Saya bekerja di New York untuk LSM Amerika membantu orang-orang homeless (tunawisma). Waktu itu ada krisis South East Asia dan banyak anak harus drop out dari sekolah untuk membantu keluarga. The American Indonesian Chamber of Commerce, Konsulat Indonesia di NY dengan UNICEF dan CARE meluncurkan kampanye “Preventing a Lost Generation”. Pak Kristio Wahyono, Konsulat RI di New York minta tolong saya untuk membantu mencari dana.
Selama itu, waktu saya ke Indonesia, saya bertemu dengan Pak Steve Woodhouse, perwakilan UNICEF untuk Indonesia. Dia mengajak saya untuk mengunjungi posyandu di Subang. Lalu, saya ada inspirasi besar dengan semangat gotong royong. Pak Steve juga bilang waktu dia akan pensiun bisa mulai program kita yang mandiri. Jadi, saya mulai membantu mencari dana untuk UNICEF dan CARE programs di Indonesia. Setelah itu, kami mendirikan program kami sendiri.
Mengapa KSF fokus pada masalah pendidikan dan kesehatan anak?
Fokus kami adalah mempunyai investasi pada manusia. Jauh lebih penting mempunyai investasi manusia daripada investasi bangunan. Pendidikan adalah kunci untuk masa depan. Kalau guru tidak engaging dan berkualitas, muridnya tidak akan belajar apa-apa dan tidak suka untuk datang ke sekolah. Kita bisa melihat negara lain yang tidak ada natural resources (sumber daya alam), tetapi mempunyai investasi besar pada anak-anak dan pendidikan. Anak-anak adalah fondasi bangsa dan masa depan kita.
Anak-anak usia berapa yang menjadi fokus KSF?
Tahun-tahun pertama usia anak-anak sangat penting untuk perkembangan otak, karakter, dan attitude (perilaku). It is the golden age. Whatever happens in the first months or years will have a direct impact in the adult life. Karena itu, awal yang sehat harus menjadi prioritas.
Pada 2001, ada lebih dari 250.000 posyandu yang beroperasi di seluruh desa-desa di Indonesia. Rata-rata setiap posyandu melayani 100 anak-anak setiap bulan. Di tempat ini pula para ibu, anak-anak, dan keluarga mendapatkan pelayanan kesehatan secara gratis.
Pada 2011, data UNICEF menunjukkan bahwa sekitar 28% anak-anak di bawah usia lima tahun menderita gizi buruk dan 163.000 anak-anak meninggal dunia sebelum mereka merayakan ulang tahun kelima. Lebih dari separuh dari angka itu disebabkan oleh penyakit yang sebetulnya bisa dicegah dengan mudah, seperti infeksi saluran pernapasan akut (ISPA), dehidrasi akibat diare, dan penyakit-penyakit lain yang bisa dicegah dengan imunisasi. Posyandu tidak memiliki peralatan yang memadai serta hanya mendapatkan sedikit bantuan dari pemerintah. Bahkan, sebagian posyandu dijalani oleh relawan yang tidak mendapatkan pelatihan formal.
Kebanyakan relawan tidak memiliki pengetahuan dasar tentang sebelum dan setelah kelahiran, pencegahan penyakit, dan masalah kekurangan gizi. Padahal, pada usia dua tahun, perkembangan otak anak-anak mencapai 80%. Awal perkembangan anak-anak (di bawah 5 tahun) sangat penting bagi masa depan anak, masyarakat, dan negara.
Dengan alasan itu, KSF memilih fokus pada persoalan anak-anak, khususnya yang berusia di bawah lima tahun. Kami memilih posyandu, karena posyandu adalah ujung tombak pelayanan kesehatan di desa. Mendorong semangat masyarakat serta memberdayakan perempuan, terutama kaum ibu, dapat memiliki dampak positif yang besar terhadap awal yang sehat dalam kehidupan anak-anak Indonesia.
Kenapa di Indonesia?
Saya memilih Indonesia karena bagi saya penting untuk kembali ke masyarakat. Ayah saya sangat mencintai Indonesia. Rakyat Indonesia dan saya juga menghormati beliau. Walau tinggal di luar negeri, saya memiliki paspor Indonesia. Darah saya, akar saya, dan DNA saya adalah Indonesia. Satu orang dapat membuat perbedaan besar di Indonesia. Saya berharap bahwa banyak dari anak-anak yang kami bantu pada gilirannya akan membantu orang lain.
Apa saja yang sudah dicapai KSF hingga kini?
Kami telah membantu lebih dari 130.000 anak-anak, merevitalisasi lebih dari 300 posyandu dan PAUD. KSF telah bekerja di Solok (Sumatera Barat), Jawa Tengah, Gresik, Surabaya, Trenggalek, Blitar, Kebumen, Sumba, dan saat ini di Sumbawa.
KSF juga mencari dana dari jaringan saya di berbagai negara, antara lain dengan mengadakan acara-acara penggalangan dana. KSF juga menerima bantuan pemerintah, seperti dari Jepang (dua kali), Selandia Baru (dua kali) serta Norwegia dan Australia. Saya gembira dengan kredibilitas kami.
Suami dan anak saya, Kiran, sangat mendukung saya. Pertengahan tahun lalu, Kiran juga bekerja dengan football camp di Jakarta Pusat.
Pada Agustus 2019, KSF bekerja sama dengan Wali Kota Jakarta Pusat, Bayu Meghantara dan istri, Synthia Ayuningrum, mengadakan pertandingan perdana “Kiran’s Soccer Cup” di RPTRA Rustanti Tanah Tinggi, Jakarta Pusat. Kegiatan ini merupakan pelatihan sepak bola selama satu minggu untuk anak-anak yang tinggal di rumah susun Tanah Tinggi. Acara ini diselenggarakan untuk memperkenalkan anak-anak tentang pentingnya kerja sama, kesetaraan, dan sportivitas.
KSF juga ada kolaborasi bagus dengan pemerintah daerah dan menerima bantuan dari pemerintah pusat dan daerah, seperti Semarang. Indonesia sudah melewati fase negara yang sedang berkembang, jadi lebih penting lagi bagi pemerintah pusat untuk mendukung rakyat dengan pendapat menengah ke bawah demi masa depan Indonesia.
Apa saja kendala yang dihadapi KSF dalam membantu persoalan kesehatan dan pendidikan anak-anak di Indonesia?
Kendala terbesar adalah sulitnya mengedukasi para orangtua tentang pola asuh yang baik (good parenting) bagi kesehatan dan pendidikan anak-anak mereka. Dengan berbagai alasan, banyak orang tua yang masih enggan membawa anak-anak mereka ke posyandu. Kendala lain adalah mencari kader posyandu yang baik yang mau berkomitmen terhadap program posyandu. Bahkan, ada kader yang harus keluar karena alasan ekonomi.
Ada juga beberapa masalah komunikasi dan birokrasi yang rumit di Indonesia. Protokol seringkali terlalu lama. Merekrut guru yang bagus di tempat-tempat terpencil juga masih sukar sekali. Dengan memperhatikan anak-anak dan berinvestasi kepada anak-anak sejak usia dini, kita bisa mencegah stunting dan masalah-masalah lain. Pencegahan jauh lebih penting bagi mereka.
Prevalensi stunting di Indonesia berada pada angka 27,67%. Sementara, prevalensi balita wasting (kurus) berada pada angka 7,44%. Meski angka-angka itu semakin membaik setiap tahun, tetapi masih berada di bawah standar WHO. Bagaimana ibu melihat ini? Apa yang harus dilakukan agar angka ini semakin membaik?
Mengutip Dian Kartika Sari, Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia pada Konferensi Pers Hari Anak Nasional 2018 di Jakarta, tingginya jumlah pernikahan dini adalah karena remaja putus sekolah di Indonesia. Hal ini dapat menyebabkan berbagai masalah lain, seperti malnutrisi atau kekurangan gizi. Data pemantauan status gizi (PSG) 2017 di 34 provinsi dan 514 kabupaten/kota menunjukkan bahwa 3,8% anak-anak balita kekurangan gizi. Lalu, 14% anak-anak kurang gizi, 29,6% tumbuh pendek (stunting), dan 9,5% kurus (wasting). Sementara, stuntingg pada anak-anak usia 12-18 tahun adalah sekitar 35,5% dan anak-anak kurus 4,7%.
Salah satu faktor penyebabnya adalah praktik pernikahan dini di masyarakat. Artinya, masalah gizi bukan hanya masalah daya beli masyarakat atas makanan bergizi, tetapi juga dipengaruhi oleh faktor-faktor lain, seperti pengetahuan orang tua tentang gizi, prioritas alokasi dana rumah tangga dan pola asuh anak. Selain itu, tingginya kekurangan gizi pada balita dan remaja juga disebabkan oleh tradisi pernikahan anak.
Indonesia diprediksi akan menghadapi bonus demografi pada 2030. Kenyataanya, hingga saat ini Indonesia masih dihadapi dengan persoalan pada pendidikan dan kesehatan. Bisakah Indonesia menghadapi bonus demografi? Hal-hal apa saja yang harus dilakukan atau perubahan seperti apa yang perlu dilakukan pemerintah agar kita siap menghadapi bonus demografi?
Menurut data Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD), Indonesia sebenarnya sudah menghadapi bonus demografi. Tugas pemerintah Indonesia adalah membantu kalangan muda dengan pendidikan sebanyak mungkin karena itu akan membantu perekonomian Indonesia bergeser ke arah ekonomi berbasis ilmu pengetahuan, yakni ekonomi yang mendorong pertumbuhan bukan lagi pada pabrik-pabrik besar dengan ribuan tenaga kerja, melainkan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Dengan strategi seperti ini, saya yakin tingkat pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa mencapai 8% atau 9%. Ini akan mengangkat banyak orang Indonesia keluar dari segmen low-middle income.
"masa" - Google Berita
March 12, 2020 at 01:08PM
https://ift.tt/39LmkGr
Anak-anak adalah Masa Depan Bangsa - Suara Pembaruan
"masa" - Google Berita
https://ift.tt/2lkx22B
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Anak-anak adalah Masa Depan Bangsa - Suara Pembaruan"
Post a Comment