Search

Kontinuitas Pilkada Masa Pandemi - detikNews

Jakarta -
Argumentasi pemerintah yang mengusulkan opsi pemungutan suara pilkada dilaksanakan pada Desember 2020 mengundang keraguan. Dalih menyoal pengambilalihan posisi kepala daerah oleh penjabat sementara dan optimisme pandemi corona berakhir Mei menuai tanda tanya. Melihat tren penyebaran virus corona yang terus meningkat justru mengesankan alasan pemerintah terburu-buru mengambil keputusan, tanpa menimbang kondisi masyarakat dan bahkan tidak melihat efek politis di baliknya.

Fluktuasi jumlah orang terpapar Covid-19 beserta potensi penularan yang sangat cepat lewat berbagai medium menandakan situasi sosial tidak akan sama. Andai kata wabah berhenti pada Mei, upaya pemulihan masyarakat akibat tekanan mental dan ekonomi masih membutuhkan proses panjang.


Alasan ketersediaan penjabat memang logis karena akan sulit mencari penjabat setingkat madya dan pratama, terlebih posisi tersebut sedang disibukkan penanganan wabah, ditambah kewenangan mereka yang terbatas nantinya. Dasar alasan pemerintah yang mengacu pada masa tanggap darurat Covid-19 yang berakhir 29 Mei 2020 dianggap kurang kuat karena hanya berlandaskan prediksi yang berbanding terbalik dengan realitas.

Pertimbangan penundaan pilkada hingga keberlanjutannya harus berdasar fakta terkini jumlah orang terpapar, kemudian jumlah orang yang sembuh hingga pemetaan daerah rawan Covid-19. Tidak saja menerka perkembangan daerah-daerah tertentu secara parsial, namun kondisi seluruh wilayah juga harus dilihat secara nasional.


Penanganan pandemi tiap daerah harus diakui berbeda tergantung pemberlakuan zona merah. Artinya, perhatian tidak boleh hanya ditujukan pada penurunan jumlah pasien positif di sejumlah daerah, namun juga melihat aksi pencegahan dan progress daerah-daerah yang jumlah pasien nya minim. Karena banyak daerah yang baru saja mulai terinfeksi dan berpotensi penyebaran semakin meluas. Sehingga opsi yang diambil betul-betul mengutamakan keselamatan seluruh masyarakat.


Pada saat yang sama, pembahasan perppu penundaan pilkada tidak boleh luput dari perhatian seluruh pihak. Kepastian hukum penundaan pilkada semestinya disegerakan guna menghindari kekosongan hukum karena amanah UU Pilkada tidak terlaksana. Dengan adanya perppu, penyelenggara pemilihan baik KPU dan Bawaslu bisa menentukan langkah teknis untuk menyusun peraturan lebih lanjut penyelenggaraan tahapan beserta pengawasannya.

Meski wabah ini menimbulkan kekalutan pelaksanaan pilkad, namun sebisa mungkin landasan hukum harus diutamakan. Seperti yang diutarakan Ketua Bawaslu Abhan bahwa kepastian adalah bagian dari asas pemilu. Sehingga kepastian hukum dan kepastian tahapan menjadi utama dalam perppu.

Kondisi Psikologis

Selain itu, euforia masyarakat bisa saja berkurang akibat trauma pasca-corona seandainya tahapan pilkada dilanjutkan tahun ini. Kondisi psikologis masyarakat belum stabil untuk secara logis melihat calon-calon kepala daerah yang kompeten dan memiliki gagasan. Kondisi finansial yang menurun akibat banyaknya pemberhentian masa kerja tidak hanya menjadikan fokus masyarakat terbelah, tetapi turut membuat rakyat berpikir rasional-material.


Pragmatisme masyarakat akan menguat dengan melihat keuntungan jangka pendek dalam menerka pilihan politiknya. Manuver para calon atau petahana yang mengandalkan modal ekonomi dan berorientasi materiil melalui bantuan-bantuan terselubung atau bahkan sumbangan uang ditengarai lebih mampu mendapatkan hati masyarakat dengan keadaan saat ini.


Bukan tidak mungkin kesempatan wabah corona dikapitalisasi oleh parpol peserta pilkada maupun bakal calon demi keuntungan elektoral. Bantuan masker, cairan alkohol dan disinfektan, alat-alat medis dan suplemen dapat dikemas dalam wujud kepentingan politik pilkada semata. Sehingga ketika wabah berangsur-angsur berhenti, masyarakat terpikat dengan parpol atau bakal calon tersebut.

Para bakal calon yang memiliki modal ekonomi secara sporadis dengan mudah menggaet hati rakyat yang ekonominya jatuh dengan pemberian insentif-insentif laten saat kampanye. Sedangkan bagi bakal calon yang memiliki kapasitas ekonomi pas-pasan dan hanya bermodal gagasan akan tenggelam karena tidak mampu memberikan kebutuhan primer yang sedang diperlukan oleh pemilih.


Partisipasi politik di tengah wabah atau pascawabah cenderung apatis dan pragmatis. Orientasi politik pemilih belum stabil karena dilanda ketakutan akan datangnya virus.

Beberapa Acuan


Seumpama tahapan pilkada dilanjutkan Juni/Juli 2020, maka ada beberapa acuan yang mesti diterapkan lantaran penularan wabah yang sangat dinamis. Walaupun harus diakui pelaksanaan tahapan di tengah pandemi sangat sulit diterapkan. Jika tahapan masih berjalan, maka penyelenggara wajib menimbang informasi valid dari lembaga kesehatan dan pemerintah.

Perlu adanya pertimbangan mengenai risiko kesehatan masyarakat, pemetaan daerah-daerah yang rawan, dan tingkat penyebaran virus. Sehingga pelaksanaan tahapan mampu menjamin proteksi bagi kesehatan dan hak asasi warga saat pemilihan. Kebijakan dan arahan pemerintah dan masyarakat penting untuk diakomodasi oleh penyelenggara.

Perintah dan imbauan social/physical distancing misalnya, meski terlihat sukar diadopsi dalam pengaturan teknis tahapan, namun wajib diikuti. Hal ini disebabkan pilkada sebagai momentum sosial politik yang menarik animo warga daerah semestinya membutuhkan kehadiran sejumlah orang, kelompok, golongan, maupun masyarakat luas, ditambah interaksi intensif dan berkelanjutan. Kondisi ini terjadi dalam tempat publik dan melibatkan sentuhan fisik seperti jabat tangan.


Dalam rekomendasinya, Bawaslu mencermati pengaturan teknis tahapan yang memungkinkan kontak fisik. Adapun beberapa tahapan itu seperti verifikasi faktual dan coklit data pemilih antara penyelenggara-pemilih, tahapan kampanye antara paslon-pemilih, dan pungut hitung antara penyelenggara-masyarakat/paslon-penyelenggara. Belum lagi kegiatan internal penyelenggara seperti pelatihan atau bimbingan teknis.


Andai saja tahapan tetap dijalankan maka penggunaan teknologi informasi menjadi sangat penting. Metode fasilitasi daring seperti telekonferensi, aplikasi khusus, hotline pengaduan pelanggaran via email dan media sosial diterapkan guna mencegah komunikasi secara fisik. Potensi masalah teknis dapat terjadi melihat infrastruktur telekomunikasi di beberapa daerah yang minim.


Penyelenggara di daerah selain mengedepankan teknologi juga mesti membenahi sistem informasi dalam beberapa tahapan ke depan. Pada tahapan verifikasi faktual dukungan bakal calon perseorangan dan coklit data pemilih yang membutuhkan perjumpaan fisik karena menggunakan pola sensus, maka jajaran penyelenggara di lapangan dimungkinkan menggunakan alat pelindung diri (APD) dengan mengacu pada standar medis WHO.

Oleh karena itu KPU perlu menerbitkan petunjuk teknis yang merujuk pada protokol anti-corona yang dikeluarkan pemerintah. Tak terkecuali pada tahapan kampanye. Metode kampanye pertemuan terbatas, tatap muka, dan rapat umum sangat mungkin ditiadakan. Menghadapi hal ini, KPU dapat menempuh upaya digitalisasi kampanye lewat aplikasi, website khusus, dan media sosial. Strategi paslon dalam menggalang dukungan serta meyakinkan pemilih tetap perlu difasilitasi oleh KPU.

Memasuki tahapan pemungutan suara, upaya sterilisasi dilakukan pada lokasi Tempat Pemungutan Suara (TPS) serta bilik suara. Aturan jaga jarak atau penggunaan masker dan hand sanitizer harus diberlakukan sebagai bagian dari protokol Covid-19. Karena adanya perjumpaan fisik, maka baiknya ada penerapan gelombang/sesi pemungutan suara yang bertujuan membatasi jumlah pemilih yang datang. Sehingga keramaian dan potensi massa dapat terhindarkan.


Selama tahapan, penyelenggara juga wajib melindungi diri melalui sanitasi rutin dan mengutamakan kebersihan diri dan peralatan.
(mmu/mmu)

Let's block ads! (Why?)



"masa" - Google Berita
April 30, 2020 at 11:12AM
https://ift.tt/3c1XmUt

Kontinuitas Pilkada Masa Pandemi - detikNews
"masa" - Google Berita
https://ift.tt/2lkx22B

Bagikan Berita Ini

0 Response to "Kontinuitas Pilkada Masa Pandemi - detikNews"

Post a Comment

Powered by Blogger.